Tuntutan Lahan Plasma 20% di PT Agro Lestari Sentosa Tak Kunjung Temui Titik Terang
Monitorkreatif.id -Palangka Raya, Kalimantan Tengah — Selasa, 21 Januari 2025,Ketegangan terkait tuntutan realisasi lahan plasma 20% dari kebun inti PT Agro Lestari Sentosa (ALS) kembali memanas dalam pertemuan yang digelar di ruang rapat Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah.
Pertemuan tersebut menghadirkan pihak Dinas Perkebunan Kabupaten Gunung Mas, manajemen PT ALS, dan tujuh orang perwakilan masyarakat Tumbang Talaken, Kecamatan Manuhing, yang dikoordinir oleh Silvanus Dio IKT Riwut.
Rapat dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah, Rizki Badjuri.
Meskipun pertemuan difasilitasi oleh Dinas Perkebunan, perwakilan masyarakat Tumbang Talaken menyatakan kekecewaannya. Mereka menilai pembahasan tidak sesuai dengan surat tuntutan yang mereka ajukan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah pada 9 November 2024, yang diteruskan ke Dinas Perkebunan untuk ditindaklanjuti.
“Surat undangan yang disampaikan kepada kami melalui PT ALS berbeda isi. Di undangan kedua, terkesan seolah-olah yang dibahas adalah urusan pribadi seseorang, bukan tuntutan masyarakat secara kolektif,” ujar Silvanus Dio, Koordinator Aspirasi Masyarakat Tumbang Talaken.
Tuntutan ini berakar pada kesepakatan yang ditandatangani pada 1 September 2007 antara Pemprov, Pemkab, perusahaan, dan tokoh masyarakat Rungan Manuhing terkait hak plasma sebesar 20% yang hingga kini belum terealisasi.
Dalam pertemuan tersebut, masyarakat meminta Pemprov Kalimantan Tengah segera membentuk tim terpadu untuk menyelesaikan persoalan ini. Tim terpadu yang diusulkan harus melibatkan unsur pemerintah provinsi dan kabupaten, DPRD, tokoh adat, Demang Kepala Adat, Dewan Adat Dayak (DAD), dan Majelis Adat Dayak Nasional (MADN).
“Kami beri waktu satu bulan untuk pembentukan tim terpadu. Jika tidak, kami akan mengambil langkah tegas sesuai hukum adat,” tegas Silvanus Dio.
Koordinator masyarakat Tumbang Talaken memperingatkan bahwa jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka akan memasang Hinting Pali—larangan adat Dayak—di tiga perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah Tumbang Talaken.
Mereka juga berencana mengukur ulang tanah ulayat berdasarkan hukum adat dan Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014.
“Kami tak lagi menuntut plasma 20%. Kami akan menuntut hak ulayat sepenuhnya dan membawa perusahaan ke sidang adat. Kami akan menghitung pelanggaran yang telah mereka lakukan atas kesepakatan 1 September 2007,” tambahnya.
Masyarakat Tumbang Talaken mendesak Pemprov dan Pemkab untuk bertindak adil, bijaksana, dan jujur dalam menangani persoalan ini. Jika pemerintah gagal memenuhi tuntutan mereka, masyarakat berencana mengambil langkah adat secara sepihak sebagai bentuk kekecewaan atas ketidakadilan yang dirasakan selama hampir dua dekade.
Rapat yang berakhir tanpa kesepakatan ini menunjukkan perlunya perhatian serius dari semua pihak terkait untuk mencari solusi komprehensif atas persoalan lahan plasma, yang tidak hanya berdampak pada masyarakat adat tetapi juga pada keberlangsungan investasi perkebunan di wilayah tersebut.
(gun/Aji)
Tinggalkan Balasan