Monitor Kreatif

Terdepan Mengabarkan

Oktober 23, 2025

PT Sapta Karya Damai Didemo Warga, Tuntut Pengembalian Kebun di Luar HGU, Sempadan Sungai, dan Hentikan Kriminalisasi Masyarakat Adat Dayak

Aksi ini dipimpin oleh Koordinator Demonstrasi Sapriyadi, S.H.,

Monitor Kreatif – Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah — Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah menggelar aksi penyampaian pendapat di muka umum pada Rabu, 8 Oktober 2025, di Kantor PT Sapta Karya Damai (PT SKD) yang beralamat di Jl. Jenderal Sudirman km 45, Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur. Aksi ini dipimpin oleh Koordinator Demonstrasi Sapriyadi, S.H., yang sekaligus menyampaikan sejumlah tuntutan kepada manajemen perusahaan.

Sapriyadi menjelaskan bahwa aksi tersebut bertujuan untuk menuntut PT SKD segera melaksanakan kemitraan sesuai amanat Surat Keputusan Bupati Kotawaringin Timur Nomor 188.45/605/Huk.Ek.SDA/2014 tanggal 25 Juni 2014. Surat tersebut mengatur izin usaha perkebunan kelapa sawit seluas 11.299 hektar di Desa Natai Baru dan Desa Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Hilir Utara.

Tuntutan pertama adalah:

agar PT SKD mematuhi kewajibannya memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat selaras dengan pembangunan kebun perusahaan. Sesuai SK Bupati, penyelesaian ini harus dilakukan maksimal dalam waktu tiga tahun. Namun, sudah 11 tahun berlalu, hingga saat ini belum ada realisasi yang jelas dari pihak perusahaan.

“Jika memang tidak ada permainan atau pembiaran, seharusnya Bupati Kotawaringin Timur mencabut Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT SKD karena perusahaan tidak menghormati keputusan pemerintah daerah,” ujar Sapriyadi.

Dalam aksi itu, masyarakat juga menuntut pengelolaan lahan kelapa sawit yang akan dikelola oleh koperasi desa dengan luas masing-masing: Desa Pondok Damar 437,062 hektar, Desa Penyang 208,506 hektar, dan Desa Natai Baru 1.368,488 hektar.

Tuntutan kedua adalah:

penyerahan pengelolaan kelapa sawit seluas 219,7 hektar yang berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) kepada kelompok Sapriyadi dkk. Lahan tersebut dianggap merugikan negara karena dikelola tanpa izin yang jelas.

Tuntutan ketiga:
menyoroti keberadaan kebun kelapa sawit PT SKD di sepanjang sempadan anak sungai seperti Sei Pudu, Sei Angut, Sei Gentui, dan beberapa lainnya. Lokasi ini melanggar Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 335/Kpts-II/1996 yang mewajibkan perusahaan menjaga kawasan konservasi dengan buffer zone di sekitar mata air dan sepanjang tepi sungai.

Tuntutan keempat adalah:
menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, terutama terhadap Ali Boto, tokoh Adat Dayak sekaligus Mantir Adat Desa Pasir Putih dan Ketua Dewan Pimpinan Ranting Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR). Ali Boto saat ini telah menjadi tersangka di Polda Kalteng akibat laporan PT SKD. Hal serupa juga dialami sejumlah masyarakat adat lainnya yang menjadi korban kriminalisasi.

Sapriyadi mengungkapkan bahwa lokasi desa Natai Baru dan Pondok Damar terletak di tengah Sertifikat HGU PT SKD sehingga masyarakat kehilangan akses atas lahan mereka dan menjadi “landless” atau tanpa tanah. Banyak tanah adat yang dirampas tanpa ganti rugi, dan ketika warga berusaha mempertahankan haknya, mereka malah menjadi korban kriminalisasi.

Menurut data Berita Acara Pembebasan Tanah Areal PT SKD tertanggal 14 Desember 1996, perusahaan hanya memberikan ganti rugi kepada pemilik tanah adat seluas 256,65 hektar dari total HGU seluas 11.382 hektar. Artinya, ada sekitar 11.125 hektar yang dianggap sebagai tanah negara dan bebas dikuasai perusahaan tanpa ganti rugi.

Lebih lanjut, SK Menteri Kehutanan Nomor 335/Kpts-II/1996 menyatakan bahwa lahan milik masyarakat yang sudah dikelola tidak termasuk dalam pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, tetapi faktanya PT SKD mengelola lahan tersebut tanpa kompensasi.

Hasil dari demonstrasi ini, manajemen PT SKD menyepakati untuk menyelesaikan tuntutan secara musyawarah di Kantor Bupati Kotawaringin Timur dalam waktu paling lambat dua minggu sejak aksi. Selain itu, pihak perusahaan juga sepakat membahas penyelesaian masalah hukum yang melibatkan masyarakat adat di Polda Kalteng dan Polres Kotim.

Sapriyadi menutup pernyataannya dengan optimisme, berharap penyelesaian dapat dilakukan secara damai dan menghormati hak-hak masyarakat adat Dayak di Kalimantan Tengah.

(Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini