Tapian Nadenggan Digugat Rp5 Triliun: “Tanah Adat Kami Diambil Sejak 2005”
MONITOR KREATIF – SAMPIT — Persidangan perdata di Pengadilan Negeri Sampit, Kalimantan Tengah, Senin pagi itu, hanya dihadiri satu pihak: masyarakat adat Dayak yang menuntut keadilan atas tanah yang mereka klaim telah digarap tanpa izin sejak hampir dua dekade lalu. Di meja kuasa hukum, Sapriyadi, S.H., berdiri mewakili Musi dan delapan warga adat lainnya. Mereka menggugat PT Tapian Nadenggan—anak usaha Sinar Mas Grup—senilai Rp5 triliun.
“Tanah adat seluas 179 hektare itu digarap perusahaan sejak 2005-2006, padahal berada di luar HGU dan IUP mereka,” kata Sapriyadi seusai sidang. Menurutnya, sembilan bidang tanah adat yang disengketakan terletak di Hulu Sungai Paken, dahulu masuk Desa Sebabi, kini masuk wilayah Desa Pantap, Kecamatan Mentaya Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur.
Masyarakat adat Dayak, menurut Sapriyadi, memiliki dasar hak atas tanah itu berupa Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Klaim itu diperkuat dengan surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah.
Namun, dalam sidang perdana ini, perwakilan PT Tapian Nadenggan tidak tampak di ruang sidang. “Kami menyayangkan ketidakhadiran pihak perusahaan. Kami harap mereka koperatif dan bisa membuktikan klaim mereka di pengadilan,” ujar Sapriyadi. Ia juga meminta tak ada kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan hak leluhur mereka.
Gugatan ini, menurut para penggugat, bukan semata soal ganti rugi moril dan materil yang mereka taksir senilai Rp5 triliun, melainkan upaya melawan ketidakadilan struktural yang telah berlangsung lama. Laporan ke sejumlah pejabat dan aparat penegak hukum pun telah dilayangkan. (EM)
(RED)
Tinggalkan Balasan