Hadi Suwandoyo dan Konflik Mafia Tanah di Balik Kasus Pemalsuan Dokumen Tanah di Palangka Raya
MONITOR KREATIF – PALANGKA RAYA // Gelombang kritik kembali menghantam Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Kalimantan Tengah. Perkara yang menyeret nama Daryana, SE, warga Kota Palangka Raya, dinilai sebagai bentuk kriminalisasi lantaran penyidik memaksakan penerapan pasal pemalsuan atau penggunaan surat palsu meskipun bukti hukum justru menunjukkan sebaliknya.
Kasus ini bermula dari Laporan Polisi Nomor: LP/B/129/VIII/2023/SPKT/POLDA KALTENG tertanggal 15 Agustus 2023, dimana Daryana dilaporkan oleh seseorang bernama Mujianto dengan tuduhan memalsukan dan/atau menggunakan surat palsu. Berdasarkan laporan itu, penyidik kemudian menerbitkan SPDP Nomor SPDP/20/IV/RES.1.9./2024/Ditreskrimum pada 2 April 2024, dan pada 29 Agustus 2025 menetapkan Daryana bersama M. Nur Suparno sebagai tersangka.
Namun, hasil kajian hukum yang disusun Pos Bantuan Hukum (Posbakum) ‘Aisyiyah Kalimantan Tengah justru menunjukkan fakta berbeda. Dokumen resmi yang dirilis menyebutkan Daryana memegang 14 SPPT sah yang terdaftar di Kelurahan Sabaru, Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya.
Kebenaran itu ditegaskan melalui Surat Keterangan Lurah Sabaru Nomor: 140.590/112/KL-SBR/Pem/IV/2025, tanggal 17 September 2025, yang menyatakan seluruh SPPT atas nama Daryana benar-benar terdaftar dan tanahnya berada di wilayah Sabaru. Bahkan, keputusan lurah Sabaru sebelumnya pada 2 Januari 2025 terkait pemekaran wilayah RT secara administratif menempatkan tanah Daryana di RT 006 RW 003 Kelurahan Sabaru.
Fakta lainnya, pada 21 Agustus 2017 telah dibuat Berita Acara Kesepakatan Bersama antara tiga lurah yaitu Kalampangan, Sabaru, dan Bereng Bengkel. Kesepakatan itu secara tegas menyatakan, apabila terdapat kesalahan wilayah dalam penerbitan SPT atau SPPT, maka penyelesaiannya hanya melalui perbaikan administratif, tanpa mengurangi hak pemegang SPPT. Dengan adanya dasar ini, semestinya persoalan Daryana cukup diselesaikan lewat mekanisme administratif, bukan dengan jerat pidana.
Ironisnya, penyidik Ditreskrimum Polda Kalteng menilai keterangan pada SPPT milik Daryana yang menyatakan lokasi tanah miliknya di Sabaru adalah palsu karena menurut peta BPN, tanah tersebut berada di Kalampangan. Atas dasar itu, Daryana dijerat Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Padahal, pasal tersebut mengharuskan adanya niat menimbulkan hak atau kerugian, yang dalam kasus ini tidak terbukti.
Sedangkan menurut keterangan Lurah Sabaru, hingga kini tidak ada tapal batas resmi antara Sabaru dan Kalampangan. Batas wilayah yang diakui masyarakat dan perangkat kelurahan selama ini hanyalah kanal alam PLG, sehingga klaim lokasi berdasarkan peta BPN seharusnya tidak dapat dijadikan dasar pidana.
Sejumlah pihak menduga ada permainan mafia tanah yang sengaja memanfaatkan kekeliruan administrasi pertanahan untuk menyingkirkan pemilik sah dan mencari kambing hitam. Sejumlah nama pejabat disebut berada di balik konflik ini, seperti mantan Lurah Kalampangan, Hadi Swandoyo dan istrinya, Yunita Martina, yang kini menjabat Lurah Kalampangan. Keduanya diketahui menguasai lahan di sekitar lahan yang dikuasai oleh Daryana dalam satu kawasan. Namun, tak seorang pun dari mereka yang dijerat pidana.
Lebih jauh, tanah yang dimiliki Daryana berada di kawasan yang dikenal memiliki nilai ekonomi tinggi akibat perkembangan kota. Sejumlah pemerhati hukum menilai, pola semacam ini lazim terjadi dalam praktik mafia tanah. Warga kecil biasanya menjadi korban, sementara aktor-aktor yang punya akses, kekuasaan, dan kepentingan justru dibiarkan bebas. Penegakan hukum yang semestinya melindungi masyarakat malah dijadikan alat legitimasi untuk menguasai dan merampas tanah masyarakat kecil dengan cara-cara yang kotor.
Posbakum ‘Aisyiyah melalui Penasihat Hukum Daryana, Kariswan Pratama Jaya, menilai langkah yang dilakukan oleh penyidik tidak hanya lemah dari segi hukum, tetapi juga diskriminatif.
“Jika logika penyidik diterapkan secara adil, dan perbedaan letak tanah dianggap pemalsuan, maka seharusnya ratusan pemilik SPPT lain di perbatasan Kalampangan-Sabaru juga ditetapkan sebagai terperiksa atau tersangka. Bahkan, lurah dan camat yang menandatangani dokumen logikanya ikut diproses hukum. Faktanya, hanya Daryana yang dijadikan tersangka, sementara pejabat penerbit SPPT dibiarkan lepas,” tegas Kariswan.
Kariswan menilai situasi yang dihadapi oleh Daryana semakin janggal ketika penyidik mencoba mengaitkan kasus ini dengan perkara lama yang menjerat Alpian Angai Salman pada 7 Februari 2020. Padahal, meski Daryana pernah membeli tanah dari Alpian, dokumen tersebut tidak pernah digunakan baik sebelum maupun setelah terbukti palsu, bahkan tanahnya telah dikuasai pihak lain tanpa sempat dikelola oleh Daryana.
Terlebih setelah ditelusuri lebih lanjut, surat pelimpahan tanah dari Alpian yang dimaksud oleh penyidik ternyata secara tegas menyebut lokasi penyerahan tanah Alpian berada di Jalan Hangkang 5 dan sangat berbeda dengan lokasi SPPT yang dimiliki oleh Daryana yang berada di Jalan Hangkang 2. Upaya penyidik mengaitkan dua perkara berbeda ini jelas menunjukkan rekayasa hukum yang berlebihan.
Kariswan menilai tindakan Ditreskrimum Polda Kalteng telah menyimpang dari semangat Polri yang mengusung prinsip presisi: penegakan hukum yang adil, transparan, dan tidak diskriminatif.
“Alih-alih memberikan kepastian hukum, penyidik justru menambah rasa takut bagi masyarakat kecil yang berhadapan dengan aparat,” ungkap Kariswan.
Kriminalisasi berbasis persoalan administrasi pertanahan dinilai sangat berbahaya. Jika pola ini dibiarkan, maka setiap warga pemegang SPPT di perbatasan kelurahan berpotensi menjadi tersangka. Padahal SPPT diterbitkan dan ditandatangani pemerintah setempat, bukan oleh warga. Menjerat warga dengan pasal pidana justru sama saja mengorbankan masyarakat yang menjadi korban dari sistem administrasi yang keliru.
Posbakum ‘Aisyiyah mendesak agar penyidikan dihentikan dan diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Penyelesaian perkara semestinya melalui jalur administratif atau perdata.
“Pemerintah Kota Palangka Raya harus segera menetapkan batas resmi antar kelurahan serta menyiapkan regulasi yang jelas terkait tata cara penerbitan SPPT guna mencegah kriminalisasi serupa di masa mendatang,” tutup Kariswan.
(Kariswan Pratama Jaya./Posbakum)
(Redaksi)
Tinggalkan Balasan