Ketika Wartawan Berbicara, Simbiosis Pemerintah dan Media, Menjaga Kepercayaan Publik
MONITOR KREATIF – PALANGKA RAYA — Di beranda rumah kayu yang teduh di pinggiran Kota Palangka Raya, Hartany Soekarno duduk bersandar, secangkir kopi hitam mengepul di tangannya. “Hubungan antara pemerintah dan media itu seperti simbiosis mutualisme,” ujarnya, tenang tapi mantap. “Saling menguntungkan.”
Sore itu, Rabu, 22 Oktober 2025, udara terasa hangat seperti perbincangan yang mengalir dari mulut jurnalis senior yang telah malang melintang di dunia pers sejak empat dekade silam. Dengan slogannya yang tersohor — jurnalis untuk keadilan — Hartany memandang media sebagai elemen vital dalam demokrasi.
Ia mengingatkan, media bukan sekadar pelengkap dalam sistem pemerintahan, melainkan bagian dari struktur utama. “Media itu pilar keempat demokrasi. Tapi sayangnya, sering kali justru yang paling kecil perhatiannya,” katanya dengan senyum tipis. Tanpa peran media, menurutnya, rakyat akan gelap terhadap arah dan capaian pembangunan pemerintah.
Hartany menyitir fakta bahwa media memikul dua wajah dalam memberitakan program pemerintah — antara keberhasilan dan kegagalan. Tapi baginya, bukan itu intinya. “Yang paling penting adalah ada ruang terbuka untuk menyampaikan informasi secara jujur,” tuturnya. Maka, kemitraan yang sehat antara pemerintah dan media bukan sekadar soal eksistensi dalam pemberitaan, melainkan bentuk saling percaya.
“Kalau pemerintah membutuhkan media, ayolah saling memberi. Saling mendukung,” katanya. Ia mengajak pemerintah daerah untuk lebih inklusif terhadap kerja-kerja jurnalistik, bukan semata-mata sebagai alat publikasi, tapi mitra dalam pembangunan sosial.
Menurut Hartany, perhatian kepada media sejatinya adalah investasi jangka panjang bagi masyarakat. “Dari media yang sehat, lahir masyarakat yang kritis,” ucapnya. “Dan itu akan mendorong tata kelola pemerintahan yang transparan.”
Ia menolak anggapan bahwa media adalah oposisi. Justru, katanya, media adalah sahabat terbaik pemerintah dalam membangun kepercayaan publik. Tapi dengan satu syarat: jurnalis tetap berpegang teguh pada etika. “Kode etik jurnalistik itu kiblat,” tegasnya. “Tanpa itu, tulisan kehilangan ruh.”
Sore semakin tua, tapi obrolan tentang pers dan pemerintahan seolah tak habis dibahas. Di tengah riuhnya dunia digital, di mana informasi berseliweran tanpa batas, Hartany tetap meyakini satu hal: pers dan pemerintah hanya bisa berjalan kokoh jika berdiri berdampingan — saling percaya, saling menguatkan.
(Redaksi)
Tinggalkan Balasan