Monitor Kreatif

Terdepan Mengabarkan

Kisruh Transparansi BPHTB di Palangka Raya, Eldoniel Mahar Tuntut Jawaban Resmi

MONITORKREATIF.ID

Palangka Raya – Politisi PSI Kalimantan Tengah, Eldoniel Mahar, menyoroti ketidaktransparanan dalam penetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Palangka Raya. Ia menilai tidak adanya standar yang jelas dalam proses penghitungan pajak tersebut berpotensi merugikan masyarakat dan menciptakan celah penyimpangan. Namun, upayanya untuk mendapatkan penjelasan resmi dari Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Palangka Raya justru direspons dengan cara yang tidak profesional.

Eldoniel mengungkapkan bahwa dirinya telah mengajukan surat resmi kepada Kepala BPPRD Palangka Raya untuk meminta penjelasan tertulis terkait mekanisme penetapan BPHTB. Namun, hingga beberapa hari setelah surat tersebut dikirim, ia belum mendapatkan balasan resmi.

“Alih-alih memberikan jawaban tertulis, mereka justru menghubungi saya melalui WhatsApp dan mengundang untuk berdiskusi di kantor,” ungkap Eldoniel pada Rabu, 5 Maret 2025.

Sebagai Wakil Ketua PSI Provinsi Kalteng, Eldoniel menegaskan bahwa diskusi adalah proses bertukar pikiran antara dua pihak, sedangkan yang ia minta adalah kejelasan dalam bentuk dokumen resmi. “Surat yang saya kirimkan bukanlah ajakan berdiskusi, tetapi permintaan resmi untuk memperoleh jawaban, penjelasan, dan keterangan tertulis,” tegasnya.

Menurutnya, surat resmi seharusnya dijawab dengan surat resmi pula. Ia menilai respons BPPRD yang hanya mengajak diskusi menunjukkan ketidaksiapan instansi tersebut dalam memberikan kejelasan kepada publik.

Eldoniel mengungkapkan bahwa permasalahan utama dalam penetapan BPHTB adalah tidak adanya transparansi dalam metode penghitungan. Salah satu contoh nyata yang ia angkat adalah kasus seorang warga Palangka Raya yang mengalami ketidakkonsistenan nilai pungutan BPHTB.

“Pengajuan BPHTB dilakukan dua kali, namun baru terselesaikan setelah lebih dari dua bulan. Lebih mencengangkan, dalam proses tersebut, seorang penilai (berinisial M) diduga mengeluarkan empat angka penilaian berbeda terhadap objek yang sama,” paparnya.

Menurut Eldoniel, perbedaan penilaian terhadap objek yang sama menunjukkan adanya metode yang tidak jelas dalam penghitungan BPHTB. Hal ini berpotensi menimbulkan dua dampak utama: pertama, penetapan nilai BPHTB yang tidak akurat dan cenderung tinggi; kedua, munculnya mekanisme ‘solusi tidak resmi’ yang bisa membuka peluang terjadinya praktik tidak transparan dalam pengurusan pajak daerah.

Eldoniel menekankan bahwa regulasi, metode, dan Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait penetapan BPHTB harus dipublikasikan secara luas agar masyarakat memahami cara kerja penghitungan pajak ini.

“Dengan transparansi, wajib pajak dapat mengetahui bagaimana BPHTB dihitung serta memiliki kesempatan untuk memberikan masukan sejak awal,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa kebijakan dan keputusan yang diambil oleh aparat pemerintah dalam pelayanan publik harus memiliki dasar hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

“Saya tidak mencari kesalahan, tetapi saya ingin memastikan bahwa masyarakat mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam setiap kebijakan pajak,” tegasnya.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak BPPRD Palangka Raya terkait tuntutan transparansi yang disampaikan Eldoniel. Jika tidak ada kejelasan dalam waktu dekat, isu ini berpotensi semakin berkembang dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan daerah.

Masyarakat dan pengamat kebijakan publik kini menanti langkah apa yang akan diambil oleh BPPRD Palangka Raya dalam menjawab kritik ini. Apakah akan ada perubahan dalam mekanisme penetapan BPHTB? Ataukah tuntutan transparansi ini justru akan berlalu tanpa kejelasan? Waktu yang akan menjawab. (Aji)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Exit mobile version