Monitor Kreatif

Terdepan Mengabarkan

Kasus Pengancaman Istri Jurnalis di Murung Raya Mandek, Oknum Polisi Dituding Tak Profesional

Foto: Kanit Ipda Dian Yendra dan Penasehat hukum Sukerman.SH saat koordinasi.

Monitor Kreatif – Murung Raya//Sudah hampir sebulan berlalu sejak Milawati, istri seorang jurnalis lokal, mengalami pengancaman menggunakan senjata tajam di Desa Tahujan Ontu, Kecamatan Tanah Siang Selatan, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Namun hingga kini, penanganan kasus oleh Kepolisian Sektor (Polsek) Tanah Siang Selatan justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Alih-alih menetapkan terduga pelaku sebagai tersangka, kepolisian justru menghentikan proses hukum dan menyarankan agar penyelesaian dilakukan melalui sidang adat. Padahal, menurut keterangan suami korban, barang bukti berupa senjata tajam sudah dikantongi dan pengakuan pelaku sudah diperoleh di depan forum adat maupun di hadapan polisi sendiri, bahkan adat pun menyerahkan ke pihak kepolisian.

“Pelaku sudah mengakui perbuatannya. Polisi juga sudah pegang barang bukti. Tapi anehnya, tidak ada penetapan tersangka. Mereka malah menyuruh kami balik ke sidang adat,” ujar Amos Diaz, suami korban sekaligus Kepala Biro DomainRakyat.com, kepada wartawan pada Sabtu (27/9/2025).

Amos menilai, sikap kepolisian dalam kasus ini mencerminkan ketidakprofesionalan sekaligus lemahnya komitmen terhadap penegakan hukum. Ia menduga ada unsur kelalaian atau bahkan keberpihakan dalam proses penanganan kasus ini.

“Apa karena kami orang kecil? Jangankan ditahan, pelaku bahkan tidak dipanggil lagi. Polisi seolah cuci tangan dan lempar tanggung jawab ke adat. Ini bukan hanya tidak profesional, ini mengabaikan hukum,” lanjut Amos.

Menurut Amos, apa yang dialami istrinya tidak bisa dianggap sebagai perkara ringan. Peristiwa pengancaman menggunakan senjata tajam bukan hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga menciptakan rasa takut dan ketidaknyamanan di lingkungan tempat tinggal mereka.

Dalam catatan Amos, peristiwa itu terjadi di ruang publik dan disaksikan oleh beberapa warga, yang telah bersedia memberikan kesaksian. Namun, sejauh ini, belum ada kejelasan dari pihak penyidik mengenai status hukum pelaku berinisial SHI.

Pernyataan Polsek Tanah Siang Selatan sebelumnya sempat menyebut bahwa penanganan kasus ini dilakukan secara “profesional dan transparan”. Dalam keterangan resminya, Kapolsek Tanah Siang Selatan Ipda Yusuf Ronie SIK mengatakan bahwa penyidik telah memeriksa sejumlah saksi, mengumpulkan bukti, dan menggandeng tokoh adat untuk penyelesaian yang menyeluruh.

“Setiap bentuk pengancaman, apalagi menggunakan senjata tajam, kami tindak sesuai hukum yang berlaku. Kami tidak mentolerir tindakan yang mengganggu ketentraman warga,” ujar Kapolsek dalam rilis pers.

Namun, pernyataan tersebut bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Justru setelah pelaku mengakui perbuatannya dan barang bukti diamankan, tidak ada tindak lanjut hukum berupa penetapan tersangka ataupun penahanan. Yang ada justru arahan untuk menyelesaikan perkara secara adat—sebuah langkah yang tidak sepenuhnya salah, namun menjadi janggal bila mengabaikan aspek pidana.

Penanganan perkara secara adat memang lazim di sejumlah wilayah pedalaman Kalimantan, termasuk di Murung Raya. Namun, ketika tindak pidana yang dilakukan sudah menyentuh ranah hukum negara—terlebih menyangkut ancaman kekerasan menggunakan senjata tajam—maka penyelesaian adat tidak dapat menggugurkan kewenangan hukum pidana.

“Adat bukan untuk menghapus hukum negara. Kalau pelaku mengancam menggunakan senjata tajam, itu masuk pidana. Tidak bisa diselesaikan hanya dengan minta maaf atau bayar denda,” kata salah satu aktivis hukum adat yang enggan disebutkan namanya.

Sikap kepolisian yang menggiring penyelesaian ke ranah adat justru memperkuat kesan bahwa aparat penegak hukum sedang menghindari tanggung jawab.

Langkah Lanjut: Laporan ke Komnas Perempuan dan Propam

Merasa tidak mendapatkan keadilan, Amos menyatakan bahwa ia akan melanjutkan kasus ini ke tingkat yang lebih tinggi. Ia berencana melapor ke Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak (Komnas PPA) serta Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) di tingkat Polres maupun Polda.

“Saya akan laporkan ini ke Propam Polres Murung Raya, atau langsung ke Propam Polda Kalteng. Kami juga akan melibatkan Komnas Perempuan agar suara korban tidak dibungkam,” tegas Amos.

Langkah ini ditempuh karena Amos menilai, aparat di tingkat lokal tidak mampu memberikan perlindungan hukum yang memadai kepada warganya, apalagi kepada korban perempuan yang terintimidasi secara fisik dan psikologis.

Amos juga mengajak insan pers dan masyarakat sipil untuk mengawal kasus ini. Ia berharap agar publik turut menyuarakan ketidakadilan yang menimpa keluarganya.

“Jurnalis saja bisa diperlakukan begini. Apalagi masyarakat biasa. Kita tahu sendiri, di negeri ini sering kali berlaku prinsip: No Viral, No Justice. Maka kami minta agar kasus ini disorot media dan publik,” pungkasnya.

Kasus ini mencerminkan persoalan mendasar dalam penegakan hukum di daerah, yakni ketimpangan akses keadilan, potensi intervensi lokal, dan penggunaan hukum adat sebagai tameng untuk menghindari proses pidana. Saat aparat penegak hukum tidak berpihak pada korban, publik punya hak untuk mempertanyakan: Apakah hukum benar-benar tegak di negeri ini? (Amos)

(Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Exit mobile version